(Ki-Ka: Rosario, Feby, dan Phillips berdiskusi tentang awal mula menjalankan bisnis, tantangan yang dihadapi, dan pandangan masing-masing terhadap pembayaran digital)
A Cup of Moka kembali hadir di Kota Lumpia pada 30 April 2019. Dengan topik “masyarakat non-tunai,” Moka mengundang sejumlah pelaku bisnis Semarang untuk membagikan pengalamannya terkait bisnis yang sedang dijalani masing-masing. Dari Rosario Berlian, kawan pemilik Shoes & Care Semarang, Feby Ferdian, pemilik Semasa Kopi, hingga Phillips Ray Prananta, pemilik Don Noodles dan Rosti, Moka memilih Moment Coffee & Space sebagai tempat acara.
Sebelum diskusi panel dimulai, Emeraldo Faris membuka perbincangan dengan topik “keuntungan pembayaran digital bagi pebisnis Indonesia.” Growth Marketing Manager Moka ini mengatakan bahwa angka pertumbuhan transaksi dengan pembayaran mobile meningkat sebanyak 400 persen dari 2017 hingga 2018. Angka ini melonjak besar khususnya di industri FnB, di mana konsumennya bisa menghemat hingga 12 ribu rupiah per transaksi. Ia melanjutkan bahwa, bagi pelaku bisnis, jenis pembayaran ini tidak hanya menawarkan berbagai promosi tetapi juga mudah digunakan.
Keuntungan lain yang bisa dirasakan pelaku bisnis adalah pembayaran digital di tahun 2019 sudah didukung oleh program pemerintah, seperti program e-toll. Jika pemerintah terus mengadakan program-program seperti ini, bisa saja Indonesia akan menyusul Cina. Di negeri bambu tersebut, kebanyakan penduduknya bahkan sudah menggunakan pembayaran digital dari membeli kudapan hingga membayar pelayanan rumah sakit. Lalu, apa sebenarnya masalah yang dihadapi pemerintah dan penduduk Indonesia sehingga perkembangan kesadaran terhadap pembayaran digital tergolong lamban?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita simak diskusi seru dari ketiga pelaku usaha Semarang ini. Di sesi pertama, Rosario, Feby, dan Phillips menyatakan bahwa mereka memang memiliki latar belakang pendidikan bisnis. Itulah mengapa mereka sangat tertarik untuk berkiprah di bidang bisnis yang tidak hanya sesuai dengan keinginan mereka tetapi juga keinginan pasar. Setidaknya itu yang dirasakan Rosario. Ia merasa bahwa belum terlalu banyak bisnis cuci sepatu di Semarang. Inilah yang membuatnya terdorong untuk membuka Shoes & Care di Semarang (cabang lain ada di Yogyakarta dan Jakarta).
Keresahan yang sama juga dirasakan Feby. Sebelum merintis Semasa Kopi, ia melihat bahwa banyak teman-teman kampusnya yang kesulitan mencari kopi yang enak dengan harga yang terjangkau. Meskipun di sekitar kampusnya ada banyak kedai kopi, ia merasa kedai-kedai tersebut hanya ditujukan untuk target audience yang kelas menengah ke atas. “Itulah kenapa saya tertantang untuk membuat diferensiasi bisnis,” katanya. Ia ingin membuat kedai kopi miliknya sendiri dengan manajemen kedai kopi yang baik, tidak asal-asalan. Ini ia lakukan mengingat banyak juga kedai kopi yang dibuka oleh orang-orang yang lebih muda namun tidak memiliki manajemen kedai yang efektif.
Download sekarang E-Book terbaru kami tentang data-data terkini seputar tren bisnis kedai kopi di Indonesia!
Cerita Phillips juga tidak kalah menarik. Keputusannya membuka Don Noodles dan Rosti di Semarang (sekarang sudah punya cabang di beberapa mal di Semarang), berawal ketika ia berkuliah di Australia. Menyambi sebagai pemagang di sebuah restoran cepat saji di sana, ia pun tertarik dengan manajemen restoran tersebut. Sehingga sekembalinya ke Indonesia, ia langsung menerapkan apa yang ia pelajari sebelumnya. Namun begitu, proses membangun bisnis ini tidak dilaluinya dengan mudah. Banyak rintangan yang harus ia hadapi untuk bisa membuat bisnisnya lebih dikenal seperti sekarang.
Baik Rosario, Feby, maupun Phillips ternyata menyerukan hal yang sama terkait cara mereka menghadapi rintangan dalam berbisnis: pelatihan terpadu. Maksudnya, mereka secara rutin mengadakan pelatihan dan workshop bagi para calon mitra dan karyawannya. Ini dilakukan dengan membuat tim yang kuat untuk setiap departemennya, sekaligus memastikan bahwa satu anggota tim tahu betul apa yang dilakukan anggota tim lain. Proses ini perlu untuk menciptakan “identitas yang kuat bagi brand” yang mereka usung. Dari melakukan workshop kecil-kecilan untuk masyarakat umum, sampai melakukan training dan SPV untuk masing-masing outlet.
Sekarang, melanjutkan pertanyaan di awal tentang prospek cashless society di Indonesia. Di sesi kedua ini, ketiga pelaku usaha ini menyatakan hal yang sama untuk mencapai kemapanan dalam melanggengkan gagasan masyarakat tanpa tunai. Kata kuncinya adalah kesiapan infrastruktur. Apakah konsumen sudah siap melepaskan uang tunai sebagai opsi pembayaran di masa depan? Feby mengatakan bahwa ternyata masih banyak pelanggan Semasa Kopi yang masih menggunakan uang tunai. Hal yang sama juga dilontarkan oleh Phillips. “Meskipun outlet saya di mal, pelanggan masih ada yang pakai uang tunai,” ujarnya. Rosario menyimpulkan bahwa kondisi ini terjadi karena tren digital payment di kota Semarang belum semasif tren di metropolitan seperti Jakarta atau Bandung.
Sebagai penutup, ketiga pelaku usaha ini memberikan tips untuk memulai bisnis bagi pemula. Selain memastikan bahwa bisnis harus sesuai keinginan, tips lain adalah melakukan perencanaan dengan matang. Jika di awal, belum ada sumber daya manusia yang bisa diajak bekerja sama, tidak perlu khawatir. Tetap jalankan bisnis dengan orang-orang yang ada terlebih dahulu. Jika di tengah-tengah ada kesalahan atau kerugian, “jangan menyerah,” saran Phillips, “karena ini adalah proses pendewasaan.” Feby juga menyarankan untuk “melibatkan doa orang tua terutama ibu, karena restu ibu bisa menentukan segalanya.”
Setelah membaca rangkuman diskusi menarik dari Rosario, Feby, dan Phillips, ditambah pandangan mereka tentang masyarakat non-tunai, apakah Anda mendapatkan wawasan baru? Simak juga rangkuman diskusi menarik lainnya di acara-acara A Cup of Moka yang sudah ada di sini. Anda juga bisa mengikuti kabar terbaru seputar acara A Cup of Moka lainnya yang akan datang di Instagram @mokapos.
Sampai bertemu di acara selanjutnya dan selamat belajar!